KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PEMAKZULAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Abstract
Salah satu hasil penting amandemen ketiga UUDN RI Tahun 1945 adalah pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebelum amandemen ketiga UUDN RI Tahun 1945, tidak ada satu pasalpun yang mengatur pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sekalipun amandemen ketiga sudah 23 tahun berlalu, kita belum pernah memiliki pengalaman pemakzulan secara yuridis dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Dua kali pemakzulan presiden yang pernah terjadi di Indonesia, bukan pemakzulan secara yuridis, tetapi pemakzulan secara politis. Presiden Sukarno dan Presiden Abdurahman Wahid dimakzulkan tetapi belum menggunakan mekanisme hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Penulisan ini akan mengangkat dua poblem hukum: pertama, apaka istilah yang termakub dalam UUDN RI Tahun 1945 pemberhentian dan diberhentikan sudah tepat menurut Bahasa Indonesia Hukum. Kedua, bagaimana mekanisme pemberhentian Presiden menurut UUDN RI Tahun 1945 pasca amandemen. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approacch), pendekatan sejarah (Historical Approach), pendekatan kasus (Case Approach), dan pendekatan perbandingan hukum (Comparition Approach). Dari pembahasan penulisan ini dapat disimpulkan bahwa kata “pemberhentianâ€, dan “diberhentikan†kurang tepat. Hal ini didasari pemikiran bahwa “pemberhentian†dan “diberhentikan†bukanlah bahasa hukum. Dengan demikian menurut bahasa Indonesia hukum, perlu diubah dengan kata “Pemakzulan†untuk kata “pemberhentian†dan kata “dimakzulkan†untuk kata “diberhentikanâ€. Prosedur pemakzulan diawali dengan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan/atau terbukti tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau Wakil Presiden. Pendapat DPR tersebut didaftarkan ke MK, dengan persyaratan 2/3 anggota DPR harus hadir dan 2/3 anggota DPR yang hadir mendukung pendapat DPR. Bila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR. Keputusan MPR atas usul DPR tersebut harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri ¾ anggota dan disetujui 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir.









