Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Abstract
Salah satu hasil penting amandemen ketiga UUDN RI Tahun 1945 adalah pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebelum amandemen ketiga UUDN RI Tahun 1945, tidak ada satu pasal pun yang mengatur pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tiga kali pemakzulan presiden yang pernah terjadi di Indonesia, bukan pemakzulan secara yuridis, tetapi pemakzulan secara politis. Presiden Sukarno dan Presiden Abdurahman Wahid dimakzulkan tetapi belum menggunakan mekanisme hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Penulisan ini akan mengangkat dua poblem hukum: pertama, apakah istilah yang termakub dalam UUDN RI Tahun 1945 pemberhentian dan diberhentikan sudah tepat menurut Bahasa Indonesia Hukum. Kedua, bagaimana mekanisme pemberhentian Presiden menurut UUDN RI Tahun 1945 pasca amandemen. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approacch), pendekatan sejarah (Historical Approach), pendekatan kasus (Case Approach), dan pendekatan perbandingan hukum (Comparition Approach). Dari pembahasan penulisan ini dapat disimpulkan bahwa kata “pemberhentian”, dan “diberhentikan” kurang tepat. Dengan demikian menurut bahasa Indonesia hukum, perlu diubah dengan kata “Pemakzulan” untuk kata “pemberhentian” dan kata “dimakzulkan” untuk kata “diberhentikan”.
Downloads
Abstract
Salah satu hasil penting amandemen ketiga UUDN RI Tahun 1945 adalah pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebelum amandemen ketiga UUDN RI Tahun 1945, tidak ada satu pasal pun yang mengatur pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tiga kali pemakzulan presiden yang pernah terjadi di Indonesia, bukan pemakzulan secara yuridis, tetapi pemakzulan secara politis. Presiden Sukarno dan Presiden Abdurahman Wahid dimakzulkan tetapi belum menggunakan mekanisme hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Penulisan ini akan mengangkat dua poblem hukum: pertama, apakah istilah yang termakub dalam UUDN RI Tahun 1945 pemberhentian dan diberhentikan sudah tepat menurut Bahasa Indonesia Hukum. Kedua, bagaimana mekanisme pemberhentian Presiden menurut UUDN RI Tahun 1945 pasca amandemen. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), pendekatan konseptual (Conceptual Approacch), pendekatan sejarah (Historical Approach), pendekatan kasus (Case Approach), dan pendekatan perbandingan hukum (Comparition Approach). Dari pembahasan penulisan ini dapat disimpulkan bahwa kata “pemberhentian”, dan “diberhentikan” kurang tepat. Dengan demikian menurut bahasa Indonesia hukum, perlu diubah dengan kata “Pemakzulan” untuk kata “pemberhentian” dan kata “dimakzulkan” untuk kata “diberhentikan”.
References
Dewan Perwakilan Rakyat, Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang Tata Tertib, Peraturan DPR No. 1 tahun 2014, Ps. 178 ayat (1)
Marzuki, Laica. 2021. Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam Mohammad Mahrus Ali dan Pan Mohammad Faiz (Editor). Argumentum In Constitutum Kapita Selekta Pemikiran Hukum dan Konstitusi. Depok: Rajawali Pers.
Mahkamah Konstitusi republik Indonesia. 2021. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) PMK 21. Tersedia Pada: https://www.mkri.id/
Mahkamah Konstitusi republik Indonesia. 2021. Pasal 5 PMK 21. Tersedia Pada: https://www.mkri.id/
Mahkamah Konstitusi republik Indonesia. 2021. Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) PMK 21. Tersedia Pada: https://www.mkri.id/